Sabtu, 25 Mei 2013

TUGAS SOFTSKILL KEWARGANEGARAAN bab 2

BAB 2
BHINNEKA TUNGGAL IKA UNTUK MENCAPAI TUJUAN NASIONAL

                                                         

                                                          Dosen :SRI WALUYO
Mata Kuliah : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Disusun oleh:
Nama :            SALAM
NPM : 19211115
Kelas : 2EA27



FAKULTAS EKONOMI MANAGEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2013
            KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan YME, karena dengan karunia-Nya kami dapat menyelesaiakan tugas softskill berjudul “Bhineka Tunggal Ika Untuk Mencapai Tujuan Nasional”Meskipun banyak hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya, tapi kami berhasil menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya.
Tidak lupa kami sampaikan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu dan membimbing kami dalam mengerjakan tugas ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman mahasiswa yang juga sudah memberi kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Bekasi,  mei  2013


Penyusun












DAFTAR ISI
I.PENDAHULUAN
A. Asal Usul Kata Bhineka Tunggal Ika………………………………………………………...4
II.PEMBAHASAN
B. Penerapan Bhineka Tunggal Ika……………………………………………………………..8
C. Pemahaman Nilai-Nilai Ke-Bhinneka Tunggal Ika-An……………………………………..11
D. Perwujudan Nilai-Nilai Bhineka Tunggal Ika Dalam Integrasi Nasional……………………13
III.PENUTUP
K e s i m p u l a n………………………………………………………………………………...14
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………15


               















BHINNEKA TUNGGAL IKA UNTUK MENCAPAI TUJUAN NASIONAL

I.PENDAHULUAN
A.Asal Usul Kata Bhineka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka" dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berarti "itu". Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14.
Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha.
Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Setelah dahulu pada zaman-zaman sebelumnya Brahma-Wishnu-Ishwara menjelma di dalam berbagai raja-raja di dunia,  maka kini pada zaman kaliyuga turunlah Sri Jinapati (Buddha) untuk meredakan amarah Bathara Kala. Sebagai-mana Sidharta Gautama, sebagai titisan Sri Jinapati, Sutasoma putra Mahaketu raja Hastina, keturunan Pandawa, meninggalkan kehidupan istana dan memilih  hidup sebagai seorang pertapa. Pada  suatu hari,  para  pertapa   mendapat  gangguan  dari Porusada,  raja  raksasa  yang  suka menyantap daging manusia. Mereka memohon kepada Sutasoma untuk membunuh raksasa itu, tetapi permintaan itu ditolaknya. Setelah dalam olah spiritualnya Sutasoma mencapai kemanunggalan dengan Sang Buddha Wairocana, akhirnya  ia kembali ke istana dan dinobatkan menjadi raja Hastina. Sementara itu Raksasa Porusada, yang ingin disembuhkan dari sakit parah pada kakinya, bernazar akan mempersembahkan seratus raja sebagai santapan Bathara Kala. Tetapi Sutasoma menyediakan diri disantap oleh Kala, asalkan seratus raja itu dibebaskan. Bahkan ketika Bathara Siwa sangat murka, dan karena kesaktiannya telah merusak dan membunuh para lawannya, Sotasoma titisan Sang Buddha menghadapinya dengan cinta kasih. Panah-panah api Siwa dihadapinya dengan kekuatan tapanya, berubah menjadi air amerta. Semakin marahlah Siwa, sehingga ia menjelma menjadi api Kala yang siap melebur jagad raya. Turunlah para bathara dari kahyangan untuk menyadarkan Siwa. Semua maharshi melantunkan mantera-mantera Wedha, dan berdoa agar dunia tidak dihancurkannya. “Jangan lakukan itu, wahai Tuanku”, mereka memohon. “Engkau guru kami. Berbelaskasihanlah kepada ciptaan ini sebelum kiamat tiba (yuganta)”.Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiswa, bhineki rakwa ring apan kena parwanosên, Mangkā Jinatwa lawan Śiwatatwa tunggal,  Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharmma mangrwa (Konon dikatakan wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Siwa dan Buddha memang berbeda, namun bagaimana kita mengenalinya dalam sekilas pandang? Hakikat ajaran Buddha dan Siwa sebenarnya tunggal. Berbeda-beda tetapi satu jua. Tidak ada kebe-naran yang mendua). Bathara Siwa yang menitis pada Porusada akhirnya meninggalkan tubuh raksasa itu, karena disadarinya bahwa Sutasoma adalah Sang Buddha sendiri. Porusaddha santa. Sang Porusada tenang kembali. Tiada nafsu membunuh, tiada nafsu menghancurkan sesama ciptaan.

Kisah di atas dikutip dari Kakawin Sotasoma, karya Mpu Tantular, yang ditulisnya pada masa keemasaan kemaharajaan Majapahit (1340). Hal penting yang perlu diga-risbawahi dari penggalan karya Mpu Tantular ini adalah asal-usul istilah “Bhinneka Tunggal Ika” yang kini menjadi salah satu dari Catur Pilar Kebangsaan Indonesia, khususnya ada-lah makna filosofinya. Perlu dicatat pula, bahwa dari sumber kesusastraan yang sama kita juga mengenal istilah “mahardhika” (yang menjadi asal kata salam nasional kita “Merdeka”), dan nama Dasar Negara kita Pancasila. Karena itu, “Bhinneka Tunggal Ika”,  − ungkapan yang menurut Dr. Soewito Santosa dalam bukunya Sutasoma, A Study in Javanese Wajrayana, − “is a magic one of great signifince and it ambraces the sincere hope the whole nation in its struggle  to become great, unites in frame works of an Indonesian Pancasilaist community”.

Seperti sinopsis kisahnya yang telah dikutip selayang pandang, kisah ini mula-mula hendak menekankan pentingnya kerukunan antara kedua aliran agama pada zaman itu, yaitu agama Hindu (Siwa) dan agama Buddha. Sosok Bathara Siwa mewakili Hindu dan Raja Sutasoma mewakili ajaran Buddha, yang dimata sang pujangga sekalipun secara lahiriah berbeda-beda tetapi keduanya merupakan ekspresi kebenaran tunggal yang sama. Anda boleh tidak setuju kepada kesimpulan teologis mengenai adanya the transcendental unity of religions yang diwakili oleh ungkapan: Tan Hana Dharma Mangrwa (Tidak ada kebenaran agama yang mendua). Tetapi inti masalahnya yang hendak dipecahkan sang pujangga pasti semua tidak keberatan. Yaitu bagaimana menjinakkan kutub-kutub ekstrim yang ada pada setiap agama, agar tersedia “ruang bersama” untuk saling berbagi, saling melengkapi dalam membangun NKRI sebagai rumah bersama. Karena itu, kini ungkapan bhinneka tunggal ika tercantum sebagai seloka dalam lambang negara kita dalam makna kebangsaan yang lebih kompleks.  Meskipun dalam narasi di atas konteksnya hanya mengacu kepada kemajemukan dalam agama, tetapi dalam implementasinya dalam kehidupan kenegaraan falsafah Bhinneka Tunggal Ika menjiwai kehi-dupan sosial politik kenegaraan secara lebih luas pada zaman itu, tercermin dari tatanan sosial politik, budaya, dan hukum, sebagaimana yang kita implementasikan dalam problem kebangsaan kita yang sekarang jauh lebih kompleks.

Dalam konteks pergulatan bangsa di tengah-tengah problem kemajemukan, Pancasila tampil sebagai ideologi yang paling cemerlang, khususnya apabila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain dalam pergulatan nasional mereka, meskipun problem kemajemukan kita jauh lebih kompleks. Salah satu faktor, kita memiliki pijakan historis dan filosofis  yang jauh lebih kuat. Kita bisa membandingkan, Ernest Renan mengucapkan pidatonya yang terkenal Qu’est ce qu’une Nation? –“Apakah suatu Bangsa itu?”, di Universitas Sorbone, Prancis tahun 1882. Renan menekankan bahwa agama tidak bisa menjadi landasan kokoh berdirinya suatu bangsa, mungkin setelah ia melihat perpecahan Belanda dan Belgia, yang salah satu faktornya karena kepentingan wilayah Belgia yang mayoritas Katolik tidak dapat merasa terakomodasi oleh pemerintah pusat Belanda yang mayoritas Protestan. Dalam hal tumbuhnya kesadaran mengelola kemajemukan masyarakat, di Barat − yang memang relatif sebagai suatu yang sangat baru − dapat dibilang sangat lambat. Kita memiliki pijakan historis yang lebih kokoh. Jauh sebelum Barat menya-darinya, seloka Bhinneka Tunggal Ika, sudah diperkenalkan lebih kurang 600 tahun sebelumnya (1340), bahkan jauh sebelum munculnya kesadaran Pluribus Unum-nya Amerika, karena memang ketika Mpu Tantular menulis karyanya, saat itu Amerika belum lahir.Bahkan dari kisah yang dikutip sekilas di awal tulisan ini, Mpu Tantular tidak hanya telah meletakkan landasan politis bagaimana mengatasi pluralisme agama, tetapi malahan sudah dikembangkan landasan teologi kerukunan yang jauh lebih mendasar dan memadai. Karena itu bukan tanpa kebetulan kalau para founding fathers di awal berdirinya NKRI menjadikan Maja-pahit (dan Sriwijaya) menjadi “model” bagi negara kebangsaan (Nationale Staat) dalam mengatasi masalah warisan kemajemukan, sebagaimana yang ditekankan Bung Karno dalam pidatonya tang-gal 1 Juni 1945. Perlu dicatat pula bahwa sekalipun Majapahit pada waktu itu mayoritas Hindu-Buddha, ini berbeda dengan Kesultanan Demak, Pajang, Banten, Ternate, Tidore, dan negara-negara merdeka lain di Nusantara, namun bagitu Majapahit bukan negara theokrasi Hindu, melainkan sebagai negara nasional dengan spirit Hindu dan Buddha sebagai dua agama yang dominan waktu itu dan dikelola oleh prinsip “Bhinneka Tunggal Ika”.

Bahkan dibuktikan bukan hanya pada sistem politik kenegaraannya, falsafah “Bhinneka Tunggal Ika” ini juga tercermin pada politik Hukum Majapahit yang tidak didasarkan mentah-mentah pada Hukum Manu (Manawa Dharmasastra) India, melainkan telah dikembangkan suatu sistem hukum nasional yang sesuai dengan warisan sosial dan budaya bangsa pada zamannya, seperti tercermin dalam dua kitab Undang-undang Majapahit, yaitu Sang Hyang Kutaramanawa atau Sang Hyang Āgama, yang asal-usulnya dapat dilacak dari zaman Raja Hayamwuruk (1350-1389) dan Sang Hyang Ādigama, yang berasal dari zaman Raja Wikramawardhana (1389-1428). Kedua kitab undang-undang Majapahit ini yang sampai sekarang masih menjadi salah satu rujukan dalam Hukum Adat di Bali, termasuk dari kitab-kitab Catur Ᾱgama. Bahkan dibuktikan juga, bahwa ternyata beberapa kompalasi hukum Nusantara yang berasal dari zaman pra-kolonial, seperti Pepakem Cirebon, Simbur Cahaya, dan lain-lain, juga berasal dari lontar-lontar hukum dari zaman Majapahit. Bahkan pranata hukum yang berlaku pada zaman kerajaaan-kerajaan Nusantara pra-kolonial juga berasal dari sistem Majapahit, misalnya sistem Jeksa Pepitu dalam pepakem Cirebon, ternyata berasal dari Sapta Upapati. Seperti disebutkan dalam Undang-undang Ᾱdigama, pada zaman Majapahit penegakan hukum yang transparan digambarkan dengan “Dewan Hakim Tujuh” yang biasanya menyidangkan perkara di bawah pohon beringin (lambang pengayoman) dan disaksikan oleh rakyat banyak.
Suatu malam di tahun 1962, bertempat di Pura Ubud, tatkala langit Pulau Dewata cerah bermandikan cahaya purnama. "Saya sangat terkesan dengan ucapan Sutasoma tadi," kata Bung Karno usai pementasan wayang sambil menghampiri I Nyoman Granyam, seorang dalang dari Sukawati, yang khusus diundangnya untuk melakonkan Porusaddhasanta (Porusada yang ditenangkan) atau yang lebih dikenal dengan lakon Sutasoma itu.

Lalu Bung Karno mensitir ungkapan bahasa Jawa kuno yang dimaksud, "Nanging hana pamintaku uripana sahananing ratu kabeh" (Tetapi permohonanku, hidupkanlah raja-raja itu semua).
Itulah ucapan Sutasoma kepada raksasa Porusada, sambil menyerahkan dirinya sebagai santapan Kala, asal seratus raja itu dibebaskan.

Ada dua hal yang perlu digarisbawahi dari penggalan karya Mpu Tantular ini. Pertama, dari karya Tantular ini berasal dari istilah "mahardhika" (yang menjadi asal kata merdeka), "Pancasila" dan seloka "bhinneka tunggal Ika"-ungkapan yang menurut Dr Soewito dalam tulisannya Sutasoma, A Study in Javanese Wajrayana (1975)- "is a magic one of great significance and it embraces the sincere hope the whole nation in its struggle to become great, unites in frame works of an Indonesian Pancasilaist community".
Kedua, perhatian yang diberikan Bung Karno pada ucapan Sutasoma yang rela mengorbankan dirinya sendiri demi kesejahteraan umat manusia. Yang kedua ini juga tidak kurang penting, sebab ternyata jalan yang sama akhirnya ditempuh oleh Bung Karno demi menyelamatkan bangsanya dari pecahnya "perang saudara" pasca-Gestok (Gerakan 1 Oktober) 1965. Jadi, yang pertama terkait erat dengan pandangan religi Bung Karno, khususnya dalam melacak pandangan-pandangan dasar keagamaannya, sedangkan yang kedua menyangkut religiusitas atau penghayatan keagamaannya.Memang, kini ungkapan Bhinneka Tunggal Ika tercantum sebagai saloka dalam lambang negara kita dalam makna kebangsaan yang lebih kompleks. Akan tetapi, makna semula ungkapan ini penting kita kedepankan kembali, justru karena secara khusus kita kaitkan dengan wacana religi dan religiusitas Bung Karno di atas. Begitu juga, istilah Pancasila yang juga tercantum dalam karya Tantular ini, aslinya berasal dari kelima hukum moral Buddhis: "Pancasila ya gegen den teki away lupa" (Pancasila harus dipegang teguh jangan sampai dilupakan). Salah satu sila dari Pancasila Buddhis adalah larangan untuk membunuh sesama makhluk hidup (Panapati vermanai sikkapadam samadiyami) yang kiranya menjiwai kisah Sutasoma dan mengilhami pilihan moral Bung Karno untuk lebih baik dirinya sendiri tenggelam demi keutuhan bangsa dan negara yang sangat dicintainya.
II.PEMBAHASAN
B.Penerapan Bhineka Tunggal Ika
pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an masyarakat multikultural/majemuk sebagai pilar nasionalisme, sekaligus untuk memberi wacana dan sumbang saran kepada semua pihak, terutama para pelaksana dan penentu kebijakan diberbagai instansi tekait, agar dapat dijadikan tambahan acuan dalam menentukan peraturan berkaitan dengan aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an oleh masyarakat multikultural sebagai pilar nasionalisme yang kokoh dan trengginas dalam menghadapi perubahan globalKalimat yang terpampang pada pita putih yang tercengkeram oleh kaki burung garuda, lambang negara Indonesia yaitu BHINNEKA TUNGGAL IKA memiliki makna yang menggambarkan keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia, meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya merupakan satu kesatuan Indonesia.
Bhinneka tunggal ika yang berarti berbeda tetapi satu, bila ditengok dari asal usul kalimatnya yang tertuang dalam syair kitab sutasoma adalah penggambaran dari dua ajaran atau keyakinan yang berbeda kala itu, namun pada dasarnya memiliki satu kesamaan tujuan.
Empu Tantular sebagai pencetus kalimat yang tertuang itu tentunya memahami benar arti dan makna yang tersimpan di dalamnya. Walaupun kalimat itu merupakan bentuk pernyataan beliau dari suatu keadaan yang sedang dialami, namun kenyataannya dapat diterapkan dan diterima hingga saat sekarang ini.
Dan memang seperti itulah seorang yang populis, berani menyampaikan sesuatu yang belum pernah diperdengarkan sebelumnya dan menyampaikan dengan bahasa yang populer, yaitu bahasa yang bisa diterima saat itu, saat ini dan suatu saat yang akan datang.
Hanya orang bijaklah yang mampu menyampaikan kata-katanya dengan bahasa yang dapat dipahami atau dimengerti oleh masing-masing pendengar atau pembacanya sesuai tingkat pemahamannya masing-masing.
Sangat beragam juga bila kita dapat mengartikan bhinneka tunggal ika dalam perwujudan sehari-hari. Bhinneka tunggal ika dalam kehidupan sehari-hari seringkali ditemui, namun untuk memahaminya terkadang masih terasa sulit, apalagi mengakuinya. Ada ungkapan yang menyatakan "perbedaan adalah rahmat" dan inipun terkadang menjadi bahan perdebatan.
Matahari dan bulan itu berbeda akan tetapi saling menerangi bumi, siang dan malam itu berbeda tetapi saling melengkapi hari, laki-laki dan perempuan beda tapi saling mengisi dalam kehidupan, salah dan benar, baik dan buruk yang Tuhan ciptakan tentu tidak dapat disangkal, lalu mengapa Tuhan ciptakan itu semua? Apabila perbedaan itu seharusnya tidak perlu ada, apakah kemudian kita berpikir bagaimana sebaiknya Tuhan?
Mengakui perbedaan terkadang terasa sulit seperti halnya mengakui kebenaran orang lain daripada melihat sisi salahnya.
Tangan dan kaki, telinga dan mata, yang kanan dan kiri memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda tetapi saling menyempurnakan bentuk manusia itu secara utuh.
Ketika dalam satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya masing-masing memiliki perbedaan pendapat apakah itu tidak boleh? dan apabila si anak memiliki keinginan yang bertentangan dengan orang tuanya apakah kemudian menjadikan terputusnya hubungan darah?
Kemudian apabila alam semesta yang beraneka ragam ini tercipta karena adanya hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, apakah akan menjadikan putusnya hubungan, apabila ciptaan tidak mengakui penciptanya?
Perbedaan adalah kenyataan yang tidak bisa terelakan lagi, mulai dalam diri sendiri, keluarga, masyarakat, negara atau dunia.
Jika kita perhatikan malam yang digantikan siang, ini berjalan selaras tidak saling mendahului tentu terasa sempurna hari yang terlewati, oleh karena keselarasan itu maka dalam pertemuan malam dengan siang terlahir fajar yang indah, begitu pula siang yang digantikan malam tercipta senja yang penuh misteri, hal itu terwujud karena adanya keselarasan alam yang berbeda tetapi bersatu menciptakan hari.Lalu bagaimana dengan perbedaan diantara kita, apakah bisa berjalan selaras agar tercipta kedamaian?
Para pendiri bangsa Indonesia terdahulu tentu memiliki harapan yang sangat besar dengan menjadikan kalimat "BHINNEKA TUNGGAL IKA" ini sebagai simbolis Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan memahami arti dan makna yang terkandung didalamnya serta dengan mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari mulai dari diri sendiri, berharap bangsa ini berjalan dengan selaras dan tumbuh menjadi bangsa yang besar.
Bangsa Indonesia menjadikan Pancasila  sebagai landasan ideologi yang berjiwa persatuan dan kesatuan wilayah dengan tetap menghargai serta menghormati ke-Bhinneka Tunggal Ika-an (persatuan dalam perbedaan) untuk setiap aspek kehidupan nasional guna mencapai tujuan nasional. Artinya, sudah menjadi hal yang tidak dapat dinafikan bahwa masyarakat Indonesia itu jamak, plural, dan daerah yang beragam, terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, adat-istiadat dan kebiasaan, agama, kepercayaan  kekayaan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus diwujudkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Implementasinya dalam kehidupan nasional adalah, memahami kemajemukan sosial dan budaya atau multikulturalisme sebagai dasar untuk membangun kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Pemahaman terhadap nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dimaksud adalah menerapkan atau melaksanakan nilai-nilai Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu, kelompok masyarakat, dan bahkan secara nasional, mencakup kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta pertahanan nasional di seluruh lapisan masyarakat yang jumlahnya besar (sekitar 230 juta jiwa) dan beragam, sehingga tercipta stabilitas nasional yang kondusif untuk pembangunan masyarakat sejahtera, adil-makmur dan merata.
ISepanjang era reformasi Indonesia menampilkan banyak kesaksian peristiwa yang menunjukkan perubahan kehidupan warga, baik secara individu atau kelompok, dalam berkehidupan kemasyarakatan, kehidupan berkenegaraan, dan kehidupan berkebangsaan  Faktor utama mendorong terjadinya proses perubahan tersebut adalah  pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, baik oleh rakyat, dan bahkan pemimpin atau penguasa mengindikasikan gejala memudar. Kondisi ini dapat dilihat dari kecenderungan terjadinya konflik antar individu, kelompok masyarakat yang berbeda agama, ras, suku/etnik, budaya, dan berbeda kepentingan, serta rendahnya moral penguasa seperti banyaknya kepala daerah dan anggota dewan yang terjerat hukum akibat korupsi.
Berkaitan dengan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang syarat dengan integrasi nasional dalam masyarakat multikultural,  nilai-nilai budaya bangsa sebagai keutuhan, kesatuan, dan persatuan negara bangsa harus tetap dipelihara sebagai pilar nasionalisme. Jika hal ini tidak wujud, apakah persatuan dan kesatuan bangsa itu akan lenyap tanpa bekas, atau akan tetap kokoh dan mampu bertahan dalam terpaan nilai-nilai global yang menantang kesatuan negara bangsa (union state) Indonesia? Bagamanakah mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai ke Bhinnekatunggal Ikaan  Hal  inilah yang menjadi permasalahan  dalam kajian ini agar terwujud dan terpelihara secara langgeng integrasi sebagai pilar nasionalisme.


C.Pemahaman Nilai-Nilai Ke-Bhinneka Tunggal Ika-An
Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang majemuk, dalam membina dan membangun atau menyelenggarakan kehidupan nasional, baik pada aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan rakyat semestanya, selalu mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dalam satu wadah/wilayah yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pembinaan dan penyelenggaraan tata kehidupan bangsa dan negara Indonesia disusun atas dasar hubungan timbal balik antara falsafah Pancasila, cita-cita dan tujuan nasional, serta kondisi sosial budaya dan pengalaman sejarah yang menumbuhkan kesadaran tentang kemajemukan dan ke-Bhinneka Tunggal Ika-annya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan nasional.
Bangsa Indonesia menyadari bahwa kemajemukan etnik/suku, ras, sosial, budaya, dan agama, merupakan kepelbagaian yang berbeda satu sama lain, namun demi kepentingan bersama, menuju masyarakat yang makmur dan sejahtera, kepelbagaian menjadi penguat sehingga terintegrasi secara nasional sejak Indonesia merdeka di bawah ideologi Pancasila. Kemajemukan yang terintegrasi secara nasional menjadi kondisi potensi nasional yang harus dapat menempatkan nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an sebagai landasan dan pedoman dalam mewujudkan stabilitas nasional dan ketahanan nasional dengan segala aspek-aspek yang ada didalamnya. Untuk itulah, aktualisasi pemahaman nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika yang termaktub dalam Pancasila sebagai filsafat dan pandangan hidup bangsa perlu dipahami dan dikembangkan serta diimplementasikan dalam  berinteraksi sosial, karena nilai-nilai yang terkandung dalam ke-Bhinneka Tunggal Ika-an mempunyai fungsi sebagai motivasi dan rambu-rambu dalam menentukan segala kebijaksanaan, keputusan, tindakan dan perbuatan dalam bermasyarakat, dan berpemerintahan, baik di tingkat pusat dan daerah maupun bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, berfungsi juga untuk mewujudkan nasionalisme yang tinggi disegala aspek kehidupan rakyat Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan nasional dari pada kepentingan individu, kelompok, golongan, suku bangsa atau daerah, dengan  tetap menghormati kepentingan lain, selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus dijadikan arahan, pedoman, acuan dan tuntunan bagi setiap individu dalam bertindak dan membangun serta memelihara tuntutan bangsa yang terintegrasi secara nasional demi keutuhan NKRI yang dikenal dengan masyarakat multikultural. Karena itu, implementasi atau penerapan nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an  harus tercermin pada pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang senantiasa mendahulukan kepentingan bangsa dan NKRI daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Untuk mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an agar terintegrasi secara nasional dalam kemajemukan sosial budaya masyarakat, implementasinya harus tergambar dalam kehidupan politik, sosial budaya, dan seluruh aspek kehidupan berbangsa dalam  penyelenggaraan negara yang sehat dan dinamis.
Aspek politik misalnya, diarahkan untuk mampu menumbuh kembangkan rasa dan semangat kebangsaan yang selanjutnya dapat dijadikan landasan bagi pengembangan jiwa nasionalisme dan pembentukan jati diri bangsa. Sosialisasi aktualisasi nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus dilaksanakan oleh seluruh komponen nasional untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang demokratis dan berkeadilan serta mampu menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan golongan dan individu, menghormati Hak Asasi Manusia (HAM), tidak terjadi kesewenangan kekuasaan tetapi sebaliknya yang terjadi adalah hubungan yang harmonis, saling menghargai tugas dan wewenang masing-masing, serta memantapkan keyakinan warga terhadap nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an. Hal tersebut tampak dalam wujudnya pemerintahan yang kuat, aspiratif dan terpercaya, yang dibangun sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat sehingga kepercayaan warga terhadap pelaksana pemerintahan terjamin.
Penerapan aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an yang terigrasi dalam kehidupan keseharian akan menciptakan tatanan masyarakat yang  benar-benar menjamin pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara merata dan adil. Untuk itu aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus mampu menumbuhkembangkan kehidupan bermasyarakat yang saling berinteraksi secara sinergis antara satu daerah dengan daerah lain yang berbeda budaya, etnik/suku, bahasa, agama, dan strata sosial dalam mewujudkan sistem integrasi nasional yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh warga serta daya saing bangsa. Seluruh komponen harus mampu memanfaatkan potensi daerah sebagai sumber daya dan kearifan lokal guna meningkatkan kesejahteraan secara adil dan mesra merata sebagai wujud  rasa nasionalisme bangsa dengan menjaga kelestarian sumber daya dan potensi yang dimiliki demi generasi penerus bangsa. Di samping itu, mencerminkan tanggungjawab terhadap pola sikap dan tindakan yang saling menghormati dan saling menghargai antar daerah, suku, bahasa, agama, bahkan strata sosial, secara timbal balik demi kelestarian keanekaragaman budaya yang menjadi kekayaan milik bersama dalam kesatuan dan persatuan negara bangsa.
Penerapan aktualisasi nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam kehidupan sosial budaya akan menciptakan sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui, menerima dan menghormati segala bentuk perbedaan  sebagai kenyataan hidup sekaligus sebagai karunia Sang Pencipta. Untuk itu, setiap warga diarahkan agar mampu mengembangkan budaya daerah yang saling berinteraksi dan mengisi secara sinergis dengan budaya daerah lainnya atas dasar saling menghormati dan saling menghargai khasanah masing-masing sehingga terwujud kehidupan bangsa yang rukun dan bersatu secara integral. Selain itu, harus mampu mewujudkan kebudayaan nasional yang merupakan perpaduan harmonis alamiah dari kebudayaan daerah yang dapat dikembangkan sebagai jati diri bangsa, mampu mewujudkan sistem hukum nasional yang dapat mengakomodasi dan mengakar pada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang berlaku dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dan diabadikan untuk kepentingan nasional. Kemudian mampu juga mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang diabadikan bagi peningkatan hakekat dan martabat bangsa. Implementasi ini juga akan menciptakan kehidupan masyarakat dan bangsa yang rukun dan bersatu tanpa membeda-bedakan suku, asal-usul daerah, agama atau kepercayaan, serta golongan berdasarkan status sosialnya.
Penerapan pemaham nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam kehidupan pertahanan keamanan  juga akan menumbuh-kembangkan kesadaran cinta tanah air untuk lebih lanjut akan membentuk sikap bela negara pada setiap warga negara, yang kemudian akan menjadi modal utama dalam menggerakkan partisipasi setiap warga menanggapi setiap bentuktantangan, seberapapun kecilnya dan darimanapun datangnya atau setiap gejala yang membahayakan keselamatan bangsa dan kedaulatan negara. Untuk itu setiap warga harus mampu menumbuh kembangkan kesadaran cinta tanah air dan bangsa yang selanjutnya akan menumbuh kembangkan jiwa dan semangat bela negara, dan pada akhirnya dapat membangun sistem pertahanan negara yang bertumpu pada keterpaduan upaya seluruh rakyat serta pengerahan segenap potensi nasional secara semesta dengan semangat pantang menyerah.
D.Perwujudan Nilai-Nilai Bhineka Tunggal Ika Dalam Integrasi Nasional
Dalam pembinaan  aspek kehidupan  nasional, aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika–an yang  termaktub dalam Pancasila harus menjadi nilai yang menjiwai segenap peraturan perundang-undangan yang berlaku  di seluruh wilayah negara. Untuk itu, harus diimplementasikan ke dalam segenap pranata sosial yang berlaku di masyarakat dalam nuansa ke-Bhinekaan Tunggal Ika-an sehingga mendinamisasi kehidupan sosial yang akrab, peduli, toleran, hormat dan taat hukum. Semua itu menggambarkan sikap paham dan semangat kebangsaan atau nasionalisme yang tinggi  sebagai identitas atau jati diri bangsa Indonesia yang diyakini kebenarannya oleh seluruh warga dengan tujuan agar tidak terjadi penyesatan dan penyimpangan dalam  mencapai dan mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Untuk mengaktualisasikan  nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, baik warga maupun pemimpin terutama pelaksana pemerintahan harus dapat menjadikannya sebagai landasan visional yang terintegrasi dalam menyelenggarakan kehidupan nasional yang sinergis.
Dalam masyarakat Indonesia yang multikultural-integral, konpsepsi aspirasinya terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mengandung arti bahwa walaupun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, adat, bahasa, agama, dan strata sosial  tetapi tetap satu (persatuan dalam perbedaan). Maknanya adalah menghubungkan (menyatukan) daerah-daerah dan suku bangsa yang berbeda-beda dalam satu wadah/wilayah yang disebut nusantara. Untuk itu sudah sepatutnya seluruh lapisan masyarakat baik pemerintah, cendikiawan, para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat harus mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an secara integral dalam kemajemukan sosial budaya masyarakat Indonesia agar ide, gagasan dan cita-cita dalam mempertahankan NKRI dapat wujud.
 Dengan mewujudkan dan mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, diharapkan setiap warga, pemerintah dan segenap komponen bangsa dapat mengintegrasikan seluruh kehidupan berkebangsaan dengan menjunjung tinggi nasioanalisme demi mempertahankan NKRI. Masih segar dalam ingatan, ketika berlangsung jejak pendapat tentang provinsi Timor Timur yang sekarang menjadi negara lain yaitu Timor Leste harus memisahkan diri dari  wilayah NKRI. Hal ini menunjukkan bahwa perwujudan pemahaman ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dan  pemahaman terhadap integrasi nasional dalam  kemajemukan masyarakat Indonesia masih sangat lemah. Oleh karena itu diharapkan kedepan peristiwa ini tidak terulang lagi, dengan mengupayakan aktualisasi pemahaman terhadap nilai-nilai ke-Bhinnneka Tunggal Ika-an yang terintegrasi secara nasional dalam kemajemukan sosial budaya masyarakat Indonesia yang terbungkus dalam bingkai NKRI. Hal ini akan wujud dengan membangun manusia secara utuh dan masyarakat secara menyeluruh yang berpedoman kepada aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an sebagai landasan visional secara signifikan.
Berdasarkan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, perwujudan aktualisasinya tampak  dalam integrasi nasional. Bila dikaitkan dengan tata kepemerintahan, kecenderungan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat harus diprioritaskan, yaitu pemerintahan yang mampu menempatkan kepentingan warga negara sebagai sentral kehidupan dari pemerintahan. Artinya, kepentingan publik selalu menjadi kriteria utama dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah. Kalau kebijakan publik diambil dengan hanya memerhatikan kepentingan para pejabat pemerintah dan aparaturnya maka dapat dinilai bahwa sistem pemerintahan yang dijalankan tidak akuntabel pada publiknya. Sebaliknya, kalau dalam merumuskan suatu kebijakan publik, para pemimpin yang berasal dari unsur pemerintah menjadikan kepentingan publik sebagai acuan utamanya, maka pemerintah maupun aparatur pemerintah dinilai memiliki akuntabilitas yang tinggi. Kondisi ini akan menjadi sumber  kesejahteraan rakyat, yang kemudiannya menjadi pilar nasionalisme, dan dapat dijadikan sebagai unsur untuk mencapai cita-cita bangsa sesuai ideologi dan konstitusi nasional.
III.PENUTUP
 K e s i m p u l a n
Pemahaman nilai-nilai Bhinneka-Tunggal Ika dalam masyarakat Indonesia dapat wujud secara integral dengan kerjasama seluruh komponen bangsa, baik oleh pemerintah selaku penyelenggara negara maupun setiap insan pribadi warga. Peningkatan sosialisasi aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus dilakukan melalui tindakan nyata dalam kehidupan keseharian seluruh kompenen warga dalam rangka memperkuat integrasi nasional, karena Indonesia dengan keberagaman budaya, suku/etnik, bahasa, agama, kondisi geografis, dan strata sosial yang berbeda. Indonesia dengan gambaran masyarakat majemuk yang terdiri dari suku-suku bangsa yang berada di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional, termasuk di dalamnya pemerintah yang menjalankan proses pembangunan masyarakat harus bersinergis untuk bersama-sama dengan rakyat tanpa membedakan keberagaman budaya, bahasa, agama, suku/etnik, dan bahkan strata sosial, mewujudkan cita-cita bangsa sesuai dengan komitmen bersama, berlandaskan nilai-nilai yang terkandung dalam ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang termaktub dalam Pancasila.  Ciri kemajemukan masyarakat Indonesia yang terintegrasi secara nasional adalah sangat penting sebagai kekayaan dan merupakan potensi yang dapat dikembangkan sehingga dapat dimanfaatkan dalam sistem komunikasi sebagai acuan utama bagi menunjukkan  jati diri bangsa Indonesia sebagai nasionalisme
Peningkatan pemahaman terhadap kemajemukan sosial budaya sebagai pencitraan dari budaya bangsa Indonesia yang semakin dewasa merupakan upaya membangun citra diri didasarkan aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka-an yang dimiliki, dapat menjadi investasi yang diandalkan pada pelaksanaan pembangunan nasional sebagai salah satu pilar demokrasi. Untuk itu diharapkan tindakan nyata oleh pemerintah agar memaknai  pentingnya kondisi kemajemukan yang terintegrasi secara nasional melalui wawasan kebangsaan di era globalisasi saat ini untuk menjaga kedaulatan NKRI. Untuk merealisasikan harapan ini, masyarakat dan segenap komponen bangsa harus lebih dewasa dalam mengaktualisasikan pemahaman nila-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam mewujudkan integrasi nasional di negara yang dikenal dengan kemajemukannya berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 demi pencapaian tujuan nasional.


DAFTAR PUSTAKA
Budiono Kusumohamodjojo, 2000,  Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia. Grasindo: Jakarta.
Suseno-Magnis Franz. 2001. “Indonesia: Antara Pluralisme & Primordialisme”     dalam Kuasa dan Moral. Gramedia: Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar